Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah
Jika kamu telah menguasai musuhmu, maafkanlah mereka, kerana perbuatan itu adalah syukur kepada kejayaan yang telah kamu perolehi.
- Saidina Ali bin Abu Talib-
Karena keberanian dan keahliannya sebagai petarung, Saidina Ali selalu dipilih oleh Rasulullah SAW untuk memberi atau menerima pertarungan satu lawan satu yang datang dari musuh. Pada suatu pertempuran, Saidina Ali berhadapan dengan musuh yang terlihat menggerunkan, tetapi itu tak menjadi masalah karena beliau pernah mengalahkan prajurit yang lebih menggerunkan sebelumnya.
Perlahan kedua orang itu saling berputar sambil memegang erat pedang mereka. Mata mereka saling bertatap, mengambil langkah dan megatur strategi dengan sangat hati-hati. Karena setiap ksatria berpengalaman tahu bahwa prajurit yang berhati-hati biasanya akan hidup lebih lama.
“Bila untuk menghabisi lawanmu menuntut kesabaran maka bersabarlah”. Saidina Ali memilih untuk menangkis serangan lawannya dan tak bergerak menyerang. Berbeda dengan beliau, sang musuh terus menerus menyerang dan Saidina Ali mulai menangkap rasa lelah yang dirasakan sang musuh melalui tatapan matanya. Sang musuh melancarkan serangan bertubi-tubi kepada Saidina Ali.
Karena tak bisa menahan amarah dan rasa putus asanya, sang musuh mulai bertindak ceroboh dalam serangannya. Pada saat itulah Saidina Ali menemukan waktu yang tepat untuk menangkis serangan musuhnya yang terlalu jauh di atas kepalanya, dan kemudian melakukan dorongan.
Sang musuh terjatuh ke tanah, debu di sekitarnya berhamburan, dan pedangnya terlempar jauh dari jangkauannya. Saidina Ali berdiri dengan gagah di atas sang musuh yang sudah tak berkutik, sambil mengarahkan pedangnya ke tubuh sang musuh. Sudah dipastikan Saidina Ali akan dapat dengan segera memenangi pertarungan sengit itu.
Namun tiba-tiba saja, sang musuh yang sudah tinggal menunggu mati, meludahi muka Saidina Ali. Dan kemudian ia berkata :
“Kalau kau mahu, habisi aku!!!”, bentak lelaki itu.
“Lakukanlah, karena aku tak akan pernah menganut agama yang kau bela!”
Meludahi muka seseorang merupakan suatu penghinaan besar, dan meskipun lelaki itu sudah diambang pintu kematian, tampaknya dia akan dihabisi dengan cara yang lebih kejam. Setidaknya itulah yang difikirkan di dalam benak prajurit lain yang menyaksikan pertarungan itu. Karena memang begitulah yang biasa terjadi dalam pertarungan satu lawan satu.
Tapi serangan mematikan itu tak pernah terjadi. Saidina Ali berdiam selama beberapa saat, lalu secara mengejutkan menurunkan pedangnya.
“Ayuh bunuh aku !!!”, jerit lelaki itu.
“Kenapa kau ragu? Apa kau kurang jantan untuk membunuh??!!”
“Awalnya aku akan menghabisimu. Tapi saat di awal kita mulai bertarung, aku berperang demi Islam sebagaimana Allah perintahkan pada kami di kitab suci-Nya.”
“Itulah satu-satunya alasanku berperang, karena aku sendiri benci kekerasan dan membunuh.”
“Aku berperang bukan karena aku ingin, atau untuk melihat musuhku terbantai. Aku berperang dan terkadang aku membunuh, demi mengembang tugas suci. Tiada yang lebih membuatku senang daripada menyambutmu sebagai seorang saudara dalam Islam, karena aku tidak mendapatkan kepuasan ataupun kesenangan dengan menghabisimu. Aku tak mencari pujian ataupun hadiah. Cukup bagiku untuk mengetahui bahwa aku sudah melakukan apa yang Allah kehendaki.”
“Tetapi saat kau meludahi wajahku, aku merasa terhina sebagai seorang Arab dan marah sebagai seorang lelaki. Selama beberapa saat, kehormatanku ternodai dan harga diriku terinjak. Sekejap saja aku merasakan amarah menyusuri seluruh diriku dan aku ingin menghabisimu karena hinaan itu.”
“Namun syukur aku tidak melakukannya, karena secepat itu pula aku sadar bahwa dengan melakukan hal demikian, hanyalah akan memuaskan amarah yang menggelegak dalam diriku, sehingga pada hari-hari berikutnya akan aku sesali. Aku tahu bahawa amarah, kebencian, dan kemurkaan akan membutakan (mata hati) kita, membuat kita mengambil tindakan yang hanya akan membawa pada amarah, kebencian, dan kemurkaan yang lebih besar. Memuaskan angkara yang ada di dalam diri kita hanya gara-gara ludah, hanya akan mengantar kita pada kekalahan.”
“Dan saat kau ludahi wajahku, aku mengerti apa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW, tatkala beliau memberi tahu kami bahwa : jihad yang lebih besar bukanlah jihad melawan musuh-musuh kami, tapi melawan ego yang hidup dalam diri, yang pasti membuat kita melakukan kesalahan secara membabi buta hanya untuk memenuhi hasrat. Demi sebuah ludah, tidak, aku tidak akan menghabisimu.”
Mendengar ucapan Saidina Ali, air mata lelaki itu pun bercucuran.
“Demi jiwa ayahku, aku tak pernah mendengar perkataan yang begitu benar. Jika inilah agamamu, maka aku berharap dapat mengabdikan hidupku untuknya. Aku telah banyak berperang, tapi kini aku paham bahwa peperangan terbesarku justru ada persis di hadapanku.”
“Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” – Surah An-Nahl, Ayat 125 dan 126
Tiada ulasan:
Catat Ulasan